Saya ingin mendapatkan penghasilan tambahan
di luar jam profesional saya sebagai seorang guru. Ini bukan keinginan yang mengada-ada.
Kebutuhan keluarga mensetting demikian. Setelah putar otak, saya memutuskan
untuk memelihara udang lobster di rumah. Hal ini didasari oleh latar belakang
saya sebagai orang kampung. Sebelumnya, saya pernah ternak ayam, kambing dan
berkebun. Semua itu tak mungkin saya lakukan saat ini, sebab lahan yang tersedia
sangat terbatas. Sehingga memelihara lobster dan membiakkannya, adalah pilihan
tepat.
Saya mencari banyak informasi tentang
Lobster. Tidak sampai seminggu semuanya lengkap saya peroleh. Sempurna, dengan
berbekal informasi tersebut, saya merasa telah menjadi seorang professional di
bisnis ini. Meski praktiknya sama sekali belum dimulai. Saya membeli beberapa
indukan. Setiap sore, sambil tiduran saya membayangkan bagaimana rupiah mengalir
ke kas keluarga. Sambil terus terus mencari mitra terdekat di bisnis ini
melalui internet.
Dari mitra inilah kemudian saya mengetahui
bahwa apa yang telah saya beli bukanlah
indukan lobster seperti yang saya inginkan. Sebab ternyata lobster itu adalah
lobster hias, bukan lobster konsumsi seperti pikiran saya di awal. Kecewa, pasti.
Tetapi ini adalah pengalaman gagal yang pertama. Berarti sukses tinggal
menunggu waktu. Karena dari teorinya orang sukses, mereka selalu gagal di awal
usahanya hingga akhirnya menemukan formasi untuk berhasil. Prinsip itu semakin
meneguhkan saya dengan keputusan yang telah diambil. Saya akan berhenti, nanti
kalau saya sudah berhasil. Saya beli beberapa beberapa indukan lagi dan anakan untuk dibiakkan dari mitra sebagai
bukti keseriusan tekad itu.
Ada rasa bangga, akhirnya saya berani juga
mengeksekusi dari sekian banyak ide-ide yang selama ini hanya saya tuliskan.
Rasa itu semakin bertambah saat melihat perkembangan lobster dari hari kehari.
Setiap pulang kerja, selalu saya control. Menyenanngkan, saya menemukan
kebahagiaan baru, sebagai seorang pebisnis lobster.
Seiring berjalannya waktu, lobster-lobster
itu kulihat mulai molting (ganti
kulit) sebagai bukti pertumbuhannya. Satu dua terlihat berhasil melaluinya,
namun dua tiga saya lihat juga terkapar tak berdaya. Saya baca ulang teorinya.
Masa ini memang masa paling sensitive dalam pertumbuhan lobster menjadi besar.
Karena saat molting lobster menjadi tidak berdaya. Bisa menjadi mangsa temannya
atau jika kurang pas kondisi airnya, akan mati. Belum lagi apabila cangkangnya
tidak bisa membuka sempurna, juga akan mati. Pengalaman gagal kedua saya peroleh.
Cuaca ekstrim Jakarta dan sekitarnya,
membuat saya tak berdaya. Beberapa hari diserang flu berat, tak mampu bekerja juga
termasuk mengurus lobster yang mungkin tinggal sepertiga dari jumlah semula. Sejauh
ini, saya masih tenang sebab sebelumnya segala sesuatunya sudah dipastikan
baik-baik saja. Jadi kalaupun memeriksa, saya tinggal memberi makan saja,
ringan. Sekali lagi saya keliru, perlakuan dan perhatian yang berkurang,
membuat separuh dari sepertiga lobster menyusul rekan-rekannya ke alam lain.
Pengalaman ketiga, saya merugi.
Istri mulai mentertawakan optimism saya,
apalagi bak-bak lobster itu kini hening tanpa kecipak lobster yang menyambut
ceria ketika saya hadir. Ternyata tahu saja tidak cukup untuk menjadi berhasil,
sebab semuanya tidak akan berjalan seperti apa yang kita pikirkan. Kehidupan
adalah hal lain dari apa yang kita pikirkan, sehingga yang saya tahu dan saya pikirkan
tidak mampu mendikte bagaimana kehidupan berjalan. Lobster dengan kehidupannya
telah memberi gambaran jelas bagi saya tentang semua ini. Pada poin ini, jelas saya
sama sekali tidak merugi, saya menganggap ini adalah SPP yang harus dibayarkan
untuk pelajaran dari universitas kehidupan. Hari ini, saya memang memutuskan
untuk cuti study, nanti kalau modal sudah cukup, saya beranikan diri untuk
kembali masuk kuliah. Menjadi pebisnis
lobster kembali. @