Minggu, 07 Januari 2018

Belajar Itu Memang Mahal, Selalu Ada Harga Yang Harus Dibayar



Saya ingin mendapatkan penghasilan tambahan di luar jam profesional saya sebagai seorang guru. Ini bukan keinginan yang mengada-ada. Kebutuhan keluarga mensetting demikian. Setelah putar otak, saya memutuskan untuk memelihara udang lobster di rumah. Hal ini didasari oleh latar belakang saya sebagai orang kampung. Sebelumnya, saya pernah ternak ayam, kambing dan berkebun. Semua itu tak mungkin saya lakukan saat ini, sebab lahan yang tersedia sangat terbatas. Sehingga memelihara lobster dan membiakkannya, adalah pilihan tepat.
 

Saya mencari banyak informasi tentang Lobster. Tidak sampai seminggu semuanya lengkap saya peroleh. Sempurna, dengan berbekal informasi tersebut, saya merasa telah menjadi seorang professional di bisnis ini. Meski praktiknya sama sekali belum dimulai. Saya membeli beberapa indukan. Setiap sore, sambil tiduran saya membayangkan bagaimana rupiah mengalir ke kas keluarga. Sambil terus terus mencari mitra terdekat di bisnis ini melalui internet. 
Dari mitra inilah kemudian saya mengetahui bahwa apa yang telah  saya beli bukanlah indukan lobster seperti yang saya inginkan. Sebab ternyata lobster itu adalah lobster hias, bukan lobster konsumsi seperti pikiran saya di awal. Kecewa, pasti. Tetapi ini adalah pengalaman gagal yang pertama. Berarti sukses tinggal menunggu waktu. Karena dari teorinya orang sukses, mereka selalu gagal di awal usahanya hingga akhirnya menemukan formasi untuk berhasil. Prinsip itu semakin meneguhkan saya dengan keputusan yang telah diambil. Saya akan berhenti, nanti kalau saya sudah berhasil. Saya beli beberapa beberapa indukan lagi  dan anakan untuk dibiakkan dari mitra sebagai bukti keseriusan tekad itu.
Ada rasa bangga, akhirnya saya berani juga mengeksekusi dari sekian banyak ide-ide yang selama ini hanya saya tuliskan. Rasa itu semakin bertambah saat melihat perkembangan lobster dari hari kehari. Setiap pulang kerja, selalu saya control. Menyenanngkan, saya menemukan kebahagiaan baru, sebagai seorang pebisnis lobster.
Seiring berjalannya waktu, lobster-lobster itu kulihat mulai molting (ganti kulit) sebagai bukti pertumbuhannya. Satu dua terlihat berhasil melaluinya, namun dua tiga saya lihat juga terkapar tak berdaya. Saya baca ulang teorinya. Masa ini memang masa paling sensitive dalam pertumbuhan lobster menjadi besar. Karena saat molting lobster menjadi tidak berdaya. Bisa menjadi mangsa temannya atau jika kurang pas kondisi airnya, akan mati. Belum lagi apabila cangkangnya tidak bisa membuka sempurna, juga akan mati. Pengalaman gagal kedua saya peroleh.
Cuaca ekstrim Jakarta dan sekitarnya, membuat saya tak berdaya. Beberapa hari diserang flu berat, tak mampu bekerja juga termasuk mengurus lobster yang mungkin tinggal sepertiga dari jumlah semula. Sejauh ini, saya masih tenang sebab sebelumnya segala sesuatunya sudah dipastikan baik-baik saja. Jadi kalaupun memeriksa, saya tinggal memberi makan saja, ringan. Sekali lagi saya keliru, perlakuan dan perhatian yang berkurang, membuat separuh dari sepertiga lobster menyusul rekan-rekannya ke alam lain. Pengalaman ketiga, saya merugi.
Istri mulai mentertawakan optimism saya, apalagi bak-bak lobster itu kini hening tanpa kecipak lobster yang menyambut ceria ketika saya hadir. Ternyata tahu saja tidak cukup untuk menjadi berhasil, sebab semuanya tidak akan berjalan seperti apa yang kita pikirkan. Kehidupan adalah hal lain dari apa yang kita pikirkan, sehingga yang saya tahu dan saya pikirkan tidak mampu mendikte bagaimana kehidupan berjalan. Lobster dengan kehidupannya telah memberi gambaran jelas bagi saya tentang semua ini. Pada poin ini, jelas saya sama sekali tidak merugi, saya menganggap ini adalah SPP yang harus dibayarkan untuk pelajaran dari universitas kehidupan. Hari ini, saya memang memutuskan untuk cuti study, nanti kalau modal sudah cukup, saya beranikan diri untuk kembali masuk kuliah.  Menjadi pebisnis lobster kembali. @

Sabtu, 30 Desember 2017

Guru Keren Itu, Berani Menghadirkan Aktris Korea ke Depan Kelas


Tulisan kali ini masih soal jadi guru di "zaman now" yang susah-susah gampang. Bagi guru yang baru saja lulus kuliah, mungkin jiwanya masih nyambung. Tetapi saya, yang meski oleh para alumni di bilang belum berubah dari zaman dulu, dalam banyak hal sudah nggak nyambung. Humor, salah satu metode yang bisa menjembatani gap antar generasi ternyata juga tidak selalu bisa jadi jembatan. Ada saja humor-humor yang tidak berhasil mengundang tawa, jadi garing. Padahal cerita humor yang saya ceritakan itu, jika saya ceritakan pada generasi saya, bisa jadi ketawanya nggak abis-abis. Coba, apa nggak ngeselin yang beginian?

 

Untuk menghadirkan tawa renyah saja, harus berjuang keras. Apalagi mengajarkan sesuatu yang membuat mereka jadi tidak sekedar tahu, tetapi paham. Perjuangannya bisa berlipat-lipat. Karena mengajar itu bukan soal menyampaikan materi, tetapi juga ada proses mengevaluasi materi yang sudah disampaikan. Belum lagi ditambah ada unsur pendidikan di dalamnya, jadi mesti mengkaji juga dari aspek nilai-nilainya bagi kehidupan. Pokoknya kompleks.

Persis sama seperti dunia medsos, anak-anak "zaman now" itu suka informasi yang sepotong-sepotong. Pendek-pendek. Mereka menghidupi dunia yang serba praktis. Jangan harap dapat menghardik mereka dengan pendekatan kekuasaan ; "gue guru loe murid, dengerin!" Bisa jadi kita dibully di medsos mereka, dan dijadiin memelucu.  Meski kita juga nggak tahu, siapa yang mereka maksud itu. Semuanya serba tersamar dengan menggunakan bahasa HTML ala mereka.

Menyiasati itu, saya bikin lucu-lucuan sekalian. Habis jika mau dibilang serius, modalnya pengetahuan pas-pasan. Mungkin saja ini menabrak pakem,tetapi selama masih dalam koridor konteks, masih bisalah ditolerir. Untuk menarik perhatian, adakalanya saya menghadirkan aktris-aktris Korea ke kelas, atau aktor kartun Jepang. Padahal modal saya pas-pasan, pengetahuan copy paste dan sedikit edit. Jadilah cerita sejarah dan pengajaran sejarah dalam bingkai komik actris Korea atau kartun Jepang, juga beberapa video pembelajaran. Sejauh ini sih masih pakai aplikasi gratisan. Lagi pula ini bukan usaha komersial.

gambar pribadi
Dok Pribadi

Hasilnya, lumayan. Anak-anak bisa juga cengar-cengir tetapi tetap serius melihat dan mengerjakan yang saya tugaskan. Ada saja yang dalam hatinya mungkin bilang ; "ah guru gue norak." Tetapi biar saja, yang penting dapat menjembatani jiwa zaman yang terus bergerak. Karena yang menguatkan, ada saja yang bilang ; "bapak keren!" Ini semua, demi merebut perhatianmu nak!

Sumber tulisan :  Kompasiana


Jumat, 21 November 2014

Cerdas Memilih Permainan yang Merangsang Kecerdasan Anak



LEGO EDUCATION Dolls Family Set [9215] Berbagai penelitian membuktikan, bermain merupakan stimulasi efektif dalam menunjang tumbuh kembang optimal anak. Dua orang psikolog, Jerome Bruner dan Brian Sutton-Smith, peneliti perkembangan kognitif manusia mengatakan; bermain menghasilkan atmosfer santai, sehingga anak dengan mudah belajar berbagai cara untuk mengatasi masalah yang ditemuinya ketika bermain. Kesimpulannya pada saat bermainlah anak sering terlibat dalam proses pemecahan masalah.

Bermain adalah dunia anak yang paling dominan. Bahkan, untuk dapat lebih maksimal dalam menyampaikan pelajaran, pendidikan anak usia dini menerapkan sistem belajar sambil bermain. Hal ini disebabkan oleh kemampuan dari otak anak itu sendiri yang sedang gemar melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti bermain.Maka dari itu, metode pembelajaranpun harus disesuaikan dengan kemampuan anak-anak sesuai usianya.

Sabtu, 15 November 2014

Menggagas Masyarakat Ramah Pendidikan



Membicarakan pendidikan di Indonesia, serasa tak ada habisnya. Sayangnya sebagian besar dari bahan pembicaraan bertemakan keprihatinan. Beranjak dari satu bentuk keprihatinan ke bentuk keprihatinan lainnya. Mulai dari rendahnya ketersediaan dan kualitas sarana fisik, minimnya prestasi, kebijakan yang tidak kondusif hingga rendahnya kualitas guru. Siapa yang paling bertangungjawab pada semua ini, telunjuk kita pun segera mengarah pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
 
Negara ini ada, salah satu tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan warga negaranya.  Melalui kecerdasan, bangsa ini memiliki kemampuan bersaing. Berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa manapun di dunia. Melalui hal itu, kebanggaan menjadi bagian dari bangsa ini menjadi keniscayaan.
Pengemban langsung amanah ini adalah lembaga pendidikan formal.  Secara structural, tudingan tersebut di atas  tidak salah, namun mengingat realitas persoalan pendidikan di negeri ini, itu tak sepenuhnya benar. Problematika pendidikan di negeri ini sangat kompleks, tetapi bukan berarti tidak bisa diurai. Butuh kebijakan yang komprehensif, konsisten dan kontinyu pengambil kebijakan, dan tentu saja dukungan masyarakat.

Sabtu, 24 Oktober 2009

Guru yang memancarkan energi ( bagian 2 )

Guru yang Rajin mendengar dan Peduli
SEbagai guru saya yakin sebagian waktu Anda habiskan untuk berbicara, namun kali ini saya menganjurkan untuk mendengar. Saya sama sekali tidak ingin mengurangi porsi Anda berbicara di depan kelas, tetapi mendengar yang saya maksudkan adalah bagaimana Anda peduli pada setiap hal menyangkut siswa Anda.
Peduli bukan pula berarti Anda menuruti apa yang menjadi kemauan siswa Anda. Mendengar dan peduli yang saya maksudkan adalah Anda mengerti bahwa setiap siswa Anda memiliki latar belakang yang berbeda. Dengan mendengar dan peduli Anda tidak gampang untuk menghakimi.

Jika siswa Anda tak mendapatkan nilai bagus untuk pelajaran Anda, jangan serta merta melAkukan justifikasi. Saya pernah menegur seorang Anak karena nilai pelajaran saya selalu jelek, dan saat menegur saya mengatakan bahwa dia tidak belajar. Responnya sungguh di luar dugaan saya, dia marah, karena dia merasa sudah sungguh-sungguh belajar, jika hasilnya jelek ia pun tidak tahu. Melihat keseriusannya menanggapi teguran, saya benar-benar menyesal telah mengatakan hal itu. Belakangan saya baru mengetahui bahwa ternyata cara belajarnya yang tidak tepat. Ia hanya menghafal tanpa memahami konsep-konsepnya sehingga ketika saya mengujikan sesuatu yang berbeda walaupun secara prinsip sama dia tidak bisa menjawab. Hal tersebut saya ketahui setelah secara pribadi saya memberi pendekatan khusus padanya.
Mendengar dan sekaligus peduli pada apa yang kita dengar memberi peluang bagi kita untuk melakukan perubahan. Perubahan yang tentu saja menuju kearah perbaikan kualitas. Sebagai manusia memang kita memiliki banyak keterbatasan, namun jika ada hal yang memang sesungguhnya bisa kita lakukan hanya saja kita belum tahu, dengan banyak mendengar kita akan mengetahuinya.

 

Jumat, 25 September 2009

Guru yang Memancarkan Energi

Saat ini ada berapa banyak siswa yang apabila sehari saja tak masuk sekolah merasa ada sesuatu yang hilang dan merasa rugi? Bukan takut ketinggalan pelajaran, atau hukuman tetapi lebih dari itu. Saya yakin tak banyak, alasannya macam-macam, namun yang tak boleh dilupakan adalah peran figur sentralnya, guru.

Kemampuan guru menghidupkan kelas adalah factor yang menentukan apakah siswa belajar sesuatu atau tidak. Mungkin Anda berpikir bahwa hal ini hanya sesuai untuk pengajar ilmu social dan bukan ilmu exacta. Sama sekali bukan demikian, pengajar apapun Anda kemampuan Anda menghidupkan kelas adalah kunci agar siswa Anda belajar tentang hal-hal yang Anda ajarkan. Persoalannya bagaimana caranya, itu yang tidak mudah. Banyak buku telah ditulis dan banyak seminar sudah dilakukan membahas masalah ini. Namun tetap saja persoalan ini tak kunjung tuntas. Melalui tulisan ini penulis mencoba share, tentang segala sesuatu yang ada dalam alam berpikir penulis ataupun hal-hal yang secara praktis telah penulis lakukan. Sebagai guru, penulis pun banyak memiliki kekurangan namun tak ada salahnya berbagi.

Rabu, 16 September 2009

Metode Pembelajaran Dialogis


Dunia pendidikan formal atau sekolah merupakan harapan bagi terciptanya proses pendidikan kritis yang ideal. Proses pendidikan yang didalamnya siswa dapat belajar secara komprehensif atau menyeluruh guna menunjang proses kehidupannya kelak. Proses belajar demikian tentu bukanlah proses belajar yang hegemonis yang segala sesuatunya di dominasi oleh guru, melainkan proses belajar yang dialogis sesuai prinsip primus interpares-nya Socrates.



Azyumardi Azra dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa pendidikan yang banyak dilakukan di negeri ini adalah gaya bank (The Banking Concept of Education). Pendekatan gaya ini kurang memberi kesempatan pada pengembangan kualitas peserta didik secara maksimal. Pola komunikasinya lebih bersifat satu arah dengan guru sebagai figur sentral.