Membicarakan pendidikan di Indonesia, serasa tak ada
habisnya. Sayangnya sebagian besar dari bahan pembicaraan bertemakan
keprihatinan. Beranjak dari satu bentuk keprihatinan ke bentuk keprihatinan
lainnya. Mulai dari rendahnya ketersediaan dan kualitas sarana fisik, minimnya
prestasi, kebijakan yang tidak kondusif hingga rendahnya kualitas guru. Siapa
yang paling bertangungjawab pada semua ini, telunjuk kita pun segera mengarah
pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Negara ini ada, salah satu tujuannya adalah
mencerdaskan kehidupan warga negaranya.
Melalui kecerdasan, bangsa ini memiliki kemampuan bersaing. Berdiri sama
tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa manapun di dunia. Melalui hal itu,
kebanggaan menjadi bagian dari bangsa ini menjadi keniscayaan.
Pengemban langsung amanah ini
adalah lembaga pendidikan formal. Secara
structural, tudingan tersebut di atas tidak
salah, namun mengingat realitas persoalan pendidikan di negeri ini, itu tak
sepenuhnya benar. Problematika pendidikan di negeri ini sangat kompleks, tetapi
bukan berarti tidak bisa diurai. Butuh kebijakan yang komprehensif, konsisten
dan kontinyu pengambil kebijakan, dan tentu saja dukungan masyarakat.
Masyarakat dan
Paradigma Pendidikan
Mengarahkan telunjuk pada
Kementrian Pendidikan, tetapi empat lainnya mengarah ke diri sendiri. Itu
artinya, masyarakat memiliki tanggungjawab yang sebenarnya jauh lebih besar
ketimbang kementrian atau lembaga pendidikan yang ada. Sehingga masyarakat pun
tak boleh begitu saja memalingkan muka melihat persoalan kualitas pendidikan di
negeri ini yang begitu-begitu saja.
Rendahnya kualitas guru, bisa
dicermati dari berapa besar animo masyarakat
menginginkan dirinya menjadi guru. Guru bukan pilihan utama bagi putra-putri terbaik di
negeri ini. Menjadi guru hanya cita-cita semasa kecil. Meskipun pada akhirnya
banyak juga yang tak punya pilihan lain. Tentu etos yang terbangun bisa dibayangkan.
Rendahnya animo, karena menjadi guru bukanlah profesi yang menjanjikan dan bergengsi,
walau kemuliaannya memang tak bisa dipungkiri. Namun kemuliaan saja sepertinya
tak cukup.
Kebijakan sekolah gratis, di sisi
lain menimbulkan pemikiran bahwa dunia pendidikan itu murah. Masyarakat tak
berpikir, jika pendidikan itu mahal cuma memang mereka tak harus menanggungnya.
Kebijakan gratis untuk semua memang tak terlalu mendidik masyarakat pada hal
tersebut. Akibatnya sekolah hanya mengandalkan dana yang tersedia, mau
melakukan pengembangan terbentur pendanaan,
sekolah pun hanya mampu jalan di tempat.
Kepanikan menghadapi UAN
menunjukkan bahwa dunia pendidikan di negeri ini minim prestasi. Belum lagi
jika mencermati standar nilai kelulusan yang sebenarnya sangat rendah. Evaluasi
sebenarnya hal lumrah dalam proses pendidikan. Karena evaluasi, kegagalan jadi
terlihat. Semestinya tak perlu dipersoalkan. Ini wajar, karena dalam proses
pendidikan tidak berarti semua peserta didik, mampu menguasai apa yang
dipelajari dalam waktu yang sama. Namun karena mentalitas itu tak tertanam,
maka setiap kegagalan dalam proses pendidikan dianggap memalukan, dan harus ditiadakan.
Sarana sekolah yang minim, bukan
saja diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak merata, namun juga karena
minimnya partisipasi masyarakat. Belum ada sebuah system yang dikembangkan
secara komprehensif agar sekolah dan masyarakat terbangun sebuah sinergi.
Padahal apabila dicermati, banyak juga sekolah-sekolah yang minim fasilitas
namun berada di lingkungan masyarakat yang sebenarnya kaya akan fasilitas.
Pada tataran pembentukan karakter, sekolah sepertinya
hanya mengajarkan nilai-nilai utopis. Karena pada kenyataannya nilai-nilai yang
dianggap baik dan diidealkan terjadi, tak ditemukan faktanya di masyarakat. Tak
ada keteladanan, masyarakat main terabas. Mulai dari masyarakat ‘kelas bawah’
hingga ke elit politik. Sehingga lingkungan masyarakat tidak menjadi tempat
kondusif bagi pengembangan nilai-nilai positif yang telah diajarkan oleh
pendidik di sekolah.
Kenyataan di atas secara gamblang
menunjukkan pada kita bahwa sebagian besar masyarakat di negeri ini tidak ramah
pada dunia pendidikan. Mereka memang membutuhkan, tetapi bagaimana kebutuhan
itu terpenuhi, mereka tidak mau tahu. Akar persoalannya bisa saja menunjuk
pemerintah karena tidak memberi edukasi yang cukup. Namun, itu hanya akan
berputar-putar dan membuat persoalan pendidikan menjadi semakin ruwet.
Penciptaan iklim ramah
pendidikan
Menjadi cerdas, dan mendapatkan
pendidikan berkualitas adalah hak setiap warganegara. Ini harus kita rebut, dan
karena pemerintah lamban, sudah saatnya untuk diperjuangkan. Setiap bagian dari
masyarakat dapat memberikan kontribusi sesuai dengan apa yang memang bisa
dilakukan. Tidak mudah memang, karena masyarakat belum memiliki system dan
organisasi bagi kepentingan tersebut. Kalaupun terdapat organisasi yang
berjuang demi kepentingan tersebut, belum sepenuhnya melibatkan seluruh
kekuatan masyarakat.
Memberi ruang lebih luas bagi
dunia pendidikan untuk mengembangkan diri adalah hal yang bisa dilakukan oleh
masyarakat. Ruang kelas tidak terbatas pada dinding sekolah, tetapi juga
lingkungan masyarakat. Paradigma kelas adalah ruang bertembok harus segera
dikikis. Ramah pada dunia pendidikan bisa ditunjukkan dengan kepedulian pada
peserta didik dan mereka yang terlibat pada dunia pendidikan. Melalui hal
tersebut, siapapun yang ada di dunia ini, akan terapresiasi sekaligus terdukung
secara moral.
Masyarakat yang permisif pada
prilaku pelajar yang melanggar nilai dan norma, harus mulai diubah. Sikap tegas
dan mendidik harus ditunjukkan segenap masyarakat pada mereka yang berseragam.
Pembiaraan oleh masyarakat membuat beragam penyakit pelajar tak kunjung berkurang. Melalui kepedulian
segenap masyarakat, di manapun berada, siswa merasa berada di lingkungan
‘sekolah’nya.
Keterbatasan sarana pendidikan di
sekolah, bukan berarti juga tak ada sarana tersebut di lingkungan masyarakat.
Lingkungan alam dan social, adalah kajian akademik yang real, dan hal itu sudah
tersedia di lingkungan masyarakat. Masyarakat tinggal mendukung apa yang
diinginkan oleh sekolah. Sekolah cerdas, menjadikan masyarakat dengan berbagai
lingkungannya sebagai sumber belajar yang memadai. Laboratorium terdapat
dimana-mana, itu bisa terjadi jika masyarakat meng-apresiasi proses dan membuka
akses seluas-luasnya bagi pendidikan.
Masyarakat hendaknya melihat
pendidikan sebagai investasi, yang bernilai sangat tinggi. Melalui pemaknaan
demikian, tentu tak ada yang memandang sebelah mata pada mereka yang melibatkan
diri di dunia pendidikan. Karena di tempat inilah terletak masa depan mereka.
Para pelaku pendidikanlah yang mengelola investasi besar masyarakat, sehingga
ruang bagi berkembangnya investasi akan selalu mendapat tempat dan dukungan
bagi mereka yang menginvestasikan masa depannya itu. Image masyarakat berubah,
dunia pendidikan pun perlahan akan menampakkan ‘wajah’nya yang cerah dan
bergairah.@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar